Kamis, 26 Februari 2009

DVD BERISI 406 BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE) CUMA Rp60.000

Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang disediakan pemerintah memang gratis untuk didownload atau diunduh dibeberapa situs penyedia, tapi kendala dan beberapa keluhan yang muncul adalah untuk mendownload atau mengunduh 1 file atau 1 buah buku elektronik dibutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi jika Anda bermaksud mendownload keseluruhan buku yang berjumlah 406 buah buku elektronik. Sudah dapat dipastikan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Untuk memudahkan Anda mendapatkan keseluruhan buku tersebut, kami sediakan BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK (BSE) dalam bentuk DVD yang terdiri dari buku SD sebanyak 95 buku, SMP sebanyak 70 buku, SMA sebanyak 25 buku, dan SMK sebanyak 216 buku, jadi total 406 buah buku. Buku sebanyak itu tentu saja sangat bermanfaat bagi Anda sebagai orang tua, pelajar, guru, pengelola sekolah, atau pengelola perpustakaan untuk menyediakan buku sekolah elektronik di sekolah. Berapa uang yang harus Anda keluarkan untuk membeli sebuah buku di toko buku? Coba bayangkan jika satu buah buku harganya cuma Rp1.000,00 (Seribu Rupiah), maka untuk mendapatkan buku sebanyak 406 buku harga yang anda harus bayar adalah 406 buah x Rp1.000,00 = Rp406.000,00. Itupun kalau harga buku Cuma Rp1.000,00, yang untuk jaman sekarang di Indonesia kayanya tidak ada toko buku yang mau jual buku pelajaran baru dengan harga seribu perak. Sekarang anda tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu, Anda cukup menganti biaya produksi (kaset DVD, Casing, label) dan biaya pengiriman via kantor Pos dengan uang sebesar Rp60.000,00 (Enam Puluh Ribu Rupiah). Ya, dengan uang sebesar Rp60.000,00 Anda akan mendapatkan CD dalam bentuk DVD yang berisi 406 buah BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK, software Adobe Reader 8.12, dan software Foxit Reader 1.3. Jadi kalo pakai hitungan matematika harga satu buku adalah Rp60.000,00 : 406 buku = Rp147,78, dibulatkan menjadi cuma SERATUS EMPAT PULUH DELAPAN RUPIAH. SANGAT MURAH BUKAN DIBANDINGKAN ANDA MENDOWNLOAD SENDIRI. Bagi Anda yang tertarik dengan penawaran ini, Anda dapat mengisi form pemesanan di bawah yang telah kami sediakan dengan pembayaran via transfer di No. Rekening 0012454054 BNI cabang Rawamangun, Jakarta Timur atas nama RAHARJO. Pesanan Anda segera kami kirimkan via Kantor Pos setelah Anda melakukan pembayaran. TERIMA KASIH semoga BERMANFAAT bagi kemajuan PENDIDIKAN Indonesia.
Silahkan klik Form pemesanan CD BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK di bawah ini. Dan jangan lupa untuk SMS konfirmasi ke 08121359550.

FORM PEMESANAN CD BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK
(Created with )

Jumat, 06 Februari 2009

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


A. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara fomal artinya darimana hukum itu dapat ditemukan, darimana asal mulanya hukum, dimana hukum dapat dicari atau hakim menemukan hukum, sehingga dasar putusannya dapat diketahui bahwa suatu peraturan tertentu mempunyai kekuatan mengikat atau berlaku dan lain sebagainya.

Aktivitas Hukum Administrasi Negara yang mencakup kegiatan administrasi negara yang bersifat nasional dan juga internasional sebagai perkembangan global saat ini, tentunya menjadikan bahwa sumber hukum administrasi negara dapat berasal dari sumber hukum nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan sumber hukum internasional seperti perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara lain dan juga berupa konvensi internasional yang telah diratifikasi.

B. Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil

Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu factor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk hukum yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.

Menurut Algra sebagaimana dikutip oleh Sudikno (1986: 63), membagi sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil.

1) Sumber Hukum Materiil, ialah tempat dimana hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan factor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan social politik, situasi social ekonomi, pandangan keagamaan dan kesusilaan, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, keadaan geografis. Contoh: Seorang ahli ekonomi akan mengatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulna hukum. Sedangkan bagi seorang ahli kemasyarakatan (sosiolog) akan mengatakan bahwa yang menjadi sumber hukum ialah peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.

2) Sumber Hukum Formal, ialah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku secara formal.

Van Apeldoorn dalam R. Soeroso (2005:118), membedakan empat macam sumber hukum, yaitu:

1) Sumber hukum dalam arti sejarah, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum dalam arti sejarah ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber hukum yang merupakan tempat dapat diketemukan atau dikenalnya hukum secara historis, dokumen-dokumen kuno, lontar dan sebagainya.

b. Sumber hukum yang merupakan tempat pembentukan undang-undang mengambil bahannya.

2) Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, dan sebagainya.

3) Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber isi hukum, disini ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab tantangan pertanyaan ini yaitu:

1. Pandangan teoritis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari Tuhan

2. Pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari akal manusia

3. Pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum

b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan.

4) Sumber hukum dalam arti formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terjadinya hukum positif merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat hakim dan masyarakat. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Agar dapat berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk undang-undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antar negara.

Marhaenis (1981:46), membedakan sumber hukum menjadi dua yaitu sumber hukum ditinjau dari Filosofis Idiologis dan sumber hukum dari segi Yuridis.

1) Sumber Hukum Filosofis Idiologis, ialah sumber hukum yang dilihat dari kepentingan individu, nasional, atau internasional sesuai dengan falsafah dan idiologi (way of life) dari suatu Negara Seperti liberalisme, komunisme, leninisme, Pancasila.

2) Sumber Hukum Yuridis, merupakan penerapan dan penjabaran langsung dari sumber hukum segi filosofis idiologis, yang diadakan pembedaan antara sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.

a. Sumber Hukum Materiil, ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya misalnya: KUHP segi materiilnya ialah mengatur tentang pidana umum, kejahatan, dan pelanggaran. KUHPerdata, dari segi materiilnya mengatur tentang masalah orang sebagai subyek hukum, barang sebagai obyek hukum, perikatan, perjanjian, pembuktian, dan kadaluarsa.

b. Sumber Hukum Formal, adalah sumber hukum dilihat dari segi yuridis dalam arti formal yaitu umber hukum dari segi bentuknya yang lazim terdiri dari: Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, Traktat.


Sebagai sumber hukum formil dari Hukum Administrasi Negara menurut E. Utrecht., ialah:

1. Undang-undang/Hukum Administrasi Negara Tertulis

2. Praktek Administrasi Negara (Hukum Administrasi Negara yang merupakan Hukum Kebiasaan)

3. Yurisprudensi baik keputusan yang diberi kesempatan banding (oleh Hakim ataupun yang tidak ada banding oleh Administrasi negara tersebut)

4. Doktrin/Pendapat para ahli Hukum Administrasi Negara

1) Undang-Undang (Statute)

Yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Menurut BUYS, undang-undang ini mempunyai dua arti yakni:

Undang-Undang dalam arti formil, yaitu setiap keputusan yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya. Di Indonesia UU dalam arti formil ditetapkan oleh presiden bersama-sama DPR, contoh UUPA, UU tentang APBN, dll.

Undang-Undang dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk. Contoh: UUPA ditinjau dari segi kekuatan mengikatnya undang-undang ini mengikat setiap WNI di bidang agraria.

Berdasarkan amandemen pertama UUD 1945 pada Pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dan selanjutnya berdasarkan Pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

Dengan adanya perubahan UUD 1945 tersebut maka kedudukan DPR jelas merupakan lembaga pemegang kekuasaan legislatif, sedangkan fungsi inisiatif di bidang legislasi yang dimiliki oleh Presiden tidak menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan utama di bidang ini. Perubahan ini sekaligus menegaskan bahwa UUD 1945 dengan sungguh-sungguh menerapkan sistem pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikati dimana sebelumnya fungsi legislatif dan eksekutif tidak dipisahkan secara tegas dan masih bersifat tumpang tindih.

Bentuk hukum peraturan daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa, sama-sama merupakan bentuk peraturan yang proses pembentukannya melibatkan peran wakil rakyat dan kepala pemerintahan yang bersangkutan. Khusus untuk tingkat desa, meskipun tidak terdapat lembaga parlemen sebagaimana mestinya, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 dan 210 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa, dimana ditegaskan bahwa “Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat”.

Untuk melaksanakan peraturan perundangan yang melibatkan peran para wakil rakyat tersebut, maka kepala pemerintahan yang bersangkutan juga perlu diberi wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat pelaksanaan. Karena itu selain UU, Presiden juga berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Demikian pula Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Desa, selain bersama-sama para wakil rakyat membentuk peraturan daerah dan peraturan desa, juga berwenang mengeluarkan peraturan kepala daerah sebagai pelaksanaan terhadap peraturan yang lebih tinggi tersebut.

2) Kebiasaan (Costum)

Yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

Sudikno (1986:82) menguraikan bahwa kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Perilaku yang tetap atau ajeg ini berarti merupakan perilaku manusia yang diulang, dimana perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, dan mempunyai kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak maka mengikat orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karenanya menimbulkan keyakinan atau kesadaran bahwa hal itu memang patut dilakukan. Yang menjadikan tingkah laku itu kebiasaan atau adat adalah kepatutan dan bukan semata-mata unsur terulangnya atau ajegnya tingkah laku. Karena dirasakan patut inilah maka lalu diulang, dan patut tidaknya suatu tingkah laku tadi bukan karena pendapat seseorang tetapi pendapat masyarakat.

Tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang baik dan adil. Oleh karena itu belum tentu suatu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi sumber hukum. Hanya kebiasan-kebiasaan dan adat istiadat yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai dengan kepribadian masyarakat tersebutlah yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan. Sebaliknya ada kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan ditolak oleh masyarakat, dan ini tentunya tidak akan menjadi hukum kebiasaan masyarakat, sebagai contoh: kebiasaan begadang, berpakaian seronok, dan sebagainya.

Sudikno (1986: 84) menyebutkan bahwa untuk timbulnya kebiasaan diperlukan beberapa syarat tertentu yaitu:

a. Syarat materiil

Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang (longa et invetarata consuetindo).

b. Syarat intelektual

Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis).

c. Syarat akibat hukum apabila hukum itu dilanggar

Utrecht (1966:120-122), menyebutkan bahwa: “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan –dalam suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang – biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan- masih juga sama kuatnya dengan hukum tertulis. Apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak pemerintah”.

Di Indonesia kebiasaan itu diatur dalam beberapa undang-undang yaitu antara lain:

Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Pasal 1346 KUHPerdata disebutkan bahwa “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan telah dibuat”.

Selanjutnya dalam Pasal 1571 KUHPerdata juga disebutkan bahwa: “Jika perjanjian sewa menyewa tidak dibuat dengan tertulis, maka perjanjian sewa menyewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan kepada pihak lain bahwa ia hendak menghentikan perjanjian dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat”.

Mengenai praktek administrasi negara sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa praktek itu membentuk hukum administrasi negara kebiasaan (hukum tidak tertulis). Hukum administrasi negara kebiasaan tersebut dibentuk dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara. Sebagai suatu sumber hukum formil, maka sering sekali praktek administrasi negara itu berdiri sendiri (zelfstandig) disamping undang-undang. Bahkan tidak jarang praktek administrasi negara mengesampingkan (opzijzetten) peraturan perundang-undangan yang telah ada.

R. Soeroso (2005: 155) menyatakan kelemahan dari hukum kebiasaan yaitu 1) bahwa hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis dan oleh karenanya tidak dapat dirumuskan secara jelas dan pada umumnya sukar menggantinya, dan 2) bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara karena hukum kebiasaan mempunyai sifat aneka ragam.

3) Keptusan-Keputusan Hakim (Yurisprudensi)

Purnadi Purbacaraka menyebutkan bahwa istilah Yurisprudensi berasal dari kata yurisprudentia (bahasa latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan kata “yurisprudentie” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau bukan peradilan. Kata yurisprudensi dalam bahasa Inggris berarti teori ilmu hukum (algemeene rechtsleer: General theory of law), sedangkan untuk pengertian yurisprudensi dipergunakan istilah-istilah Case Law atau Judge Made Law. Dari segi praktek peradilan yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutuskan kasus-kasus yang sama.

Beberapa alasan seorang hakim mempergunakan putusan hakim yang lain (yurisprudensi) yaitu:

a. Pertimbangan Psikologis

Hal ini biasanya terutama pada keputusan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka biasanya dalam hal untuk kasus-kasus yang sama hakim di bawahnya secara psikologis segan jika tidak mengikuti keputusan hakim di atasnya tersebut.

b. Pertimbangan Praktis

Pertimbangan praktis ini biasanya didasarkan karena dalam suatu kasus yang sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu apalagi sudah diperkuat atau dibenarkan oleh pengadilan tinggi atau MA maka akan lebih praktis apabila hakim berikutnya memberikan putusan yang sama pula. Di samping itu apabila keputusan hakim yang tingkatannya lebih rendah memberi keputusan yang menyimpang atau berbeda dari keputusan yang lebih tinggi untuk kasus yang sama, maka keputusan tersebut biasanya tentu tidak dibenarkan/dikalahkan pada waktu putusan itu dimintakan banding atau kasasi.

c. Pendapat Yang sama

Pendapat yang sama biasanya terjadi karena hakim yang bersangkutan sependapat dengan keputusan hakim lain yang terlebih dahulu untuk kasus yang serupa atau sama.

4) Traktat (Treaty)

Yaitu perjanjian antar negara/perjanjian internasional/perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada perjanjian yang mereka adakan itu. Hal ini disebut Pacta Sun Servada yang berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.

Ada beberapa macam traktat (treaty) yaitu:

a. Traktat bilateral atau traktat binasional atau twee zijdig

Yaitu apabila perjanjian dilakukan oleh dua negara. Contoh: Traktat antara pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia tentang Perjanjian ekstradisi menyangkut kejahatan kriminal biasa dan kejahatan politik.


b. Traktat Multilateral

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh banyak negara. Contoh: Perjanjian kerjasama beberapa negara di bidang pertahanan dan ideologi seperti NATO.

c. Traktat Kolektif atau traktat Terbuka

Yaitu perjanjian yang dilakukan oleh oleh beberapa negara atau multilateral yang kemudian terbuka untuk negara lain terikat pada perjanjian tersebut. Contoh: Perjanjian dalam PBB dimana negara lain, terbuka untuk ikut menjadi anggota PBB yang terikat pada perjanjian yang ditetapkan oleh PBB tersebut.

Adapun pelaksanaan pembuatan traktat tersebut dilakukan dalam beberapa tahap dimana setiap negara mungkin saja berbeda, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

1. Tahap Perundingan

Tahap ini merupakan tahap yang paling awal biasa dilakukan oleh negara-negara yang akan mengadakan perjanjian. Perundingan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis atau melalui teknologi informasi lainnya. Perundingan juga dapat dilakukan dengan melalui utusan masing-masing negara untuk bertemu dan berunding baik melalui suatu konferensi, kongres, muktamar atau sidang.

2. Tahap Penutupan

Tahap penutupan biasanya apabila tahap perundingan telah tercapai kata sepakat atau persetujuan, maka perundingan ditutup dengan suatu naskah dalam bentuk teks tertulis yang dikenal dengan istilah “Piagam Hasil Perundingan” atau “Sluitings-Oorkonde”. Piagam penutupan ini ditandatangani oleh masing-masing utusan negara yang mengadakan perjanjian.


3. Tahap Pengesahan atau ratifikasi

Persetujuan piagam hasil perundingan tersebut kemudian oleh masing-masing negara (biasanya tiap negara menerapkan mekanisme yang berbeda) untuk dimintakan persetujuan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.

4. Tahap Pertukaran Piagam

Pertukaran piagam atau peletakkan piagam dalam perjanjian bilateral maka naskah piagam yang telah diratifikasi atau telah disahkan oleh negara masing-masing dipertukarkan antara kedua negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam traktat kolektif atau terbuka peletakkan naskah piagam tersebut diganti dengan peletakkan surat-surat piagam yang telah disahkan masing-masing negara itu, dalam dua kemungkinan yaitu disimpan oleh salah satu negara berdasarkan persetujuan bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam traktat atau disimpan dalam arsip markas besar PBB yaitu pada Sekretaris Jenderal PBB.

5) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)

Biasanya hakim dalam memutuskan perkaranya didasarkan kepada undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi. Apabila ternyata ketiga sumber tersebut tidak dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka hukumnya dicari pada pendapat para sarjana hukum atau ilmu hukum. Jadi doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya. Di Indonesia dalam hukum Islam banyak ajaran-ajaran dari Imam Syafi’i yang digunakan oleh hakim pada pengadilan Agama dalam pengambilan putusan-putusannya.

C. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Menurut Tap MPRS XX Tahun 1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai sumber tertib Hukum RI dan tata urut perundangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang/Perpu

4. Peraturan Pemerintah

5. keputusan Presiden

6. Peraturan Menteri

7. Instruksi Menteri

Untuk menata kembali struktur dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut, berdasarkan Tap MPR RI No. III tahun 2000 disusun suatu struktur baru peraturan perundang-undangan dengan urutan sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang (UU)

4. Perpu

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Keputusan Presiden (Keppres)

6. Peraturan Daerah (Perda)

Dan terakhir berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan, maka urutan peraturan perundangan RI adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama.

Sebelum dikeluarkannya UU No. 10 Tahun 2004 tersebut, tata urut dan penamaan bentuk-bentuk peraturan mengalami banyak kerancuan. Sebagai contoh adalah di beberapa kementerian, digunakan istilah Peraturan Menteri tetapi di beberapa kementerian lainnya digunakan istilah Keputusan Menteri, padahal jelas-jelas isinya memuat materi-materi yang mengatur kepentingan publik seperti di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagainya. Disamping itu untuk mengatur secara bersama berkenaan dengan materi-materi yang bersifat lintas departemen, berkembang pula kebiasaan menerbitkan Keputusan Bersama antar Menteri, atau peraturan dalam bentuk Surat Edaran, padahal bentuk keputusan bersama dan surat edaran itu jelas tidak ada dasar hukumnya. Kemudian mengenai Ketetapan MPR, apakah ketetapan MPR itu termasuk peraturan atau bukan, karena isinya sering sama dengan Keputusan Presiden yang hanya bersifat penetapan biasa.

Keluarnya UU No. 10 Tahun 2004 itu sebenarnya merupakan upaya penyempurnaan dalam rangka penataan kembali sumber tertib hukum dan bentuk-bentuk serta tata urut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia di masa yang akan datang.


D. Latihan

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!

1. Jelaskan pengertian sumber hukum pada umumnya!

2. Sebutkan dan jelaskan yang menjadi sumber hukum material dan sumber hukum formal!

3. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber hukum administrasi negara!

4. Jelaskan tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini!

5. Mengapa jurisprudensi dijadikan sebagai salah satu sumber hukum administrasi negara!

E. Rangkuman

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.

Sumber hukum, dapat dibagi atas dua yaitu: Sumber Hukum Materiil dan Sumber Hukum Formil. Sumber Hukum Materiil yaitu faktor-faktor yang membantu isi dari hukum itu, ini dapat ditinjau dari segi sejarah, filsafat, agama, sosiologi, dll. Sedangkan Sumber Hukum Formil, yaitu sumber hukum yang dilihat dari cara terbentuknya hukum, ada beberapa bentuk hukum yaitu undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, traktat.

Undang-Undang (Statute) yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan Negara, dan tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Kebiasaan (Costum) yaitu perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.

Yurisprudensi adalah keputusan hakim yang selalu dijadikan pedoman hakim lain dalam memutusakan kasus-kasus yang sama.

Traktat (Treaty) yaitu perjanjian antar negara/ perjanjian internasional/perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih.

Doktrin adalah pendapat para sarjana hukum yang terkemuka yang besar pengaruhnya terhadap hakim, dalam mengambil keputusannya.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang berisi hirarkhi perundang-undangan, maka urutan peraturan perundangan RI adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah:

a. Peraturan Daerah Propinsi dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan gubernur

b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota

c. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama.

PENGENALAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA



PENGENALAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Pengertian Hukum Administrasi Negara

1) Pengertian Administrasi Negara

Istilah Administrasi berasal dari bahasa Latin yaitu Administrare, yang artinya adalah setiap penyusunan keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud mendapatkan sesuatu ikhtisar keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Namun tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dijadikan administrasi. Menurut Liang Gie dalam Ali Mufiz (2004:1.4) menyebutkan bahwa Administrasi adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga dengan demikian Ilmu Administrasi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari proses, kegiatan dan dinamika kerjasama manusia. Dari definisi administrasi menurut Liang Gie kita mendapatkan tiga unsur administrasi, yang terdiri:

1. kegiatan melibatkan dua orang atau lebih

2. kegiatan dilakukan secara bersama-sama, dan

3. ada tujuan tertentu yang hendak dicapai

Kerjasama itu sendiri merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, kerjasama dapat terjadi dalam semua hal bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, atau budaya. Dari sifat dan kepentingannya, kerjasama dapat dibedakan menjadi dua yaitu kegiatan yang bersifat privat dan kegiatan yang bersifat publik. Sehingga ilmu yang mempelajarinya dibedakan menjadi dua pula yaitu ilmu administrasi privat (private administration) dan ilmu administrasi negara (public administration). Perbedaan antara dua cabang ilmu ini (private administration dan public administration) terletak pada fokus pembahasan atau obyek studi dari masing-masing cabang ilmu tersebut. Administrasi negara memusatkan perhatiannya pada kerjasama yang dilakukan dalam lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan administrasi privat memfokuskan perhatiannya pada lembaga-lembaga bisnis swasta. Dengan demikian ilmu administrasi negara (public administration) dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kegiatan kerjasama dalam organisasi atau institusi yang bersifat publik yaitu negara.

Mengenai arti dan apakah yang dimaksud dengan administrasi, lebih lanjut Liang Gie dalam Ali Mufiz (2004: 1.5) mengelompokkan menjadi tiga macam kategori definisi administrasi yaitu:

1. Administrasi dalam pengertian proses atau kegiatan

Sebagaimana dikemukakan oleh Sondang P. Siagian bahwa administrasi adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Administrasi dalam pengertian tata usaha

a. Menurut Munawardi Reksodiprawiro, bahwa dalam arti sempit administrasi berarti tata usaha yang mencakup setiap pengaturan yang rapi dan sistematis serta penentuan fakta-fakta secara tertulis, dengan tujuan memperoleh pandangan yang menyeluruh serta hubungan timbal balik antara satu fakta dengan fakta lainnya.

b. G. Kartasapoetra, mendefinisikan bahwa administrasi adalah suatu alat yang dapat dipakai menjamin kelancaran dan keberesan bagi setiap manusia untuk melakukan perhubungan, persetujuan dan perjanjian atau lain sebagainya antara sesama manusia dan/atau badan hukum yang dilakukan secara tertulis.

c. Harris Muda, administrasi adalah suatu pekerjaan yang sifatnya mengatur segala sesuatu pekerjaan yang berhubungan dengan tulis menulis, surat menyurat dan mencatat (membukukan) setiap perubahan/kejadian yang terjadi di dalam organisasi itu.

3. Administrasi dalam pengertian pemerintah atau administrasi negara

a. Wijana, Administrasi negara adalah rangkaian semua organ-organ negara terendah dan tinggi yang bertugas menjalankan pemerintahan, pelaksanaan dan kepolisian.

b. Y. Wayong, menyebutkan bahwa administrasi Negara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengendalikan usaha-usaha instansi pemerintah agar tujuannya tercapai.

Dari berbagai definisi tentang administrasi Negara, Ali Mufiz (2004:1.7) menyebutkan ada dua pola pemikiran yang berbeda tentang administrasi negara yaitu:

  1. Pola Pemikiran Pertama

Memandang administrasi Negara sebagai satu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya oleh lembaga eksekutif. Marshall Edward Dimock dan Gladys Ogden Dimock (1964), yang mengutif definisi W.F. Willougby, yaitu bahwa fungsi administrasi adalah fungsi untuk secara nyata mengatur pelaksanaan hukum yang dibuat oleh lembaga legislative dan ditafsirkan oleh lembaga yudikatif.

  1. Pola Pemikiran Kedua

Pola kedua menyatakan bahwa administrasi Negara lebih luas daripada sekedar membahas aktivitas-aktivitas lembaga eksekutif saja. Artinya Administrasi Negara meliput seluuh aktivitas dari ketiga cabang pemerintahan, mencakup baik lembaga eksekutif maupun lembaga legislative dan yudikatif, yang semuanya bermuara pada fungsi untuk memberikan pelayanan publik. J.M. Pfifftner berpendapat bahwa administrasi Negara adalah koordinasi dari usaha-saha kolektif yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerintah.

Mendasarkan pada pola kedua di atas, Felix A. Nigro dan Lloyd G. Nigro (1977:18) menyimpulkan bahwa administrasi negara adalah:

1) usaha kelompok yang bersifat kooperatif yang diselenggarakan dalam satu lingkungan publik

2) meliputi seluruh cabang pemerintahan serta merupakan pertalian diantara cabang pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).

3) Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanaan publik (public policy) dan merupakan bagian dari proses politik

4) Amat berbeda dengan administrasi privat

5) Berhubungan erat dengan kelompok-kelompok privat dan individual dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sementara C.S.T. Kansil (1985:2) mengemukakan arti Administrasi Negara adalah sebagai berikut:

1) Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintahan, atau istansi politik (kenegaraan) artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah, mulai dari presiden, menteri, termasuk gubernur, bupati/walikota (semua organ yang menjalankan administrasi negara).

2) Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yakni sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara

3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan undang-undang, artinya meliputi segala tindakan aparatur negara dalam menjalankan undang-undang.

Tujuan administrasi negara sangat tergantung pada tujuan dari negara itu sendiri. Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, selayaknya pula bahwa tujuan dari administrasi negaranya berdasar dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dimana dalam Pembukaannya disebutkan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk bagaimana melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam usaha perdamaian dunia. Jadi tugas administrasi negara adalah memberikan pelayanan (service) yang baik kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya yang seringkali terjadi masyarakat yang harus melayani administrator negara. Untuk itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa maka dituntut partisipasi masyarakat (social participation), dukungan dari masyarakat kepada administrasi negara (social support), pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja administrasi negara (social control), serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan administrasi negara (social responsibility).

2) Hukum Administrasi Negara

Istilah Hukum Administrasi Negara (yang dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0198/LI/1972 tentang Pedoman Mengenai Kurikulum Minimal Fakultas Hukum Negeri maupun Swasta di Indonesia, dalam pasal 5 disebut Hukum Tata Pemerintahan) berasal dari bahasa Belanda Administratiefrecht, Administrative Law (Inggris), Droit Administratief (Perancis), atau Verwaltungsrecht (Jerman). Dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud No. 30/DJ/Kep/1983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum disebut dengan istilah Hukum Administrasi Negara Indonesia, sedangkan dalam Keputusan Dirjen Dikti No. 02/DJ/Kep/1991, mata kuliah ini dinamakan Asas-Asas Hukum Administrasi Negara. Dalam rapat dosen Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia pada bulan Maret 1973 di Cibulan, diputuskan bahwa sebaiknya istilah yang dipakai adalah “Hukum Administrasi Negara”, dengan tidak menutup kemungkinan penggunaan istilah lain seperti Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan atau lainnya. Alasan penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara ini adalah bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan istilah yang luas pengertiannya sehingga membuka kemungkinan ke arah pengembangan yang sesuai dengan perkembangan dan kemajuan negara Republik Indonesia ke depan. Dan berdasarkan Kurikulum Program Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dirjen Dikti Depdiknas tahun 2000, mata kuliah ini disebut Hukum Administrasi Negara dengan bobot 2 SKS.

Hukum Administrasi Negara sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan hukum; dan oleh karena hukum itu sukar dirumuskan dalam suatu definisi yang tepat, maka demikian pula halnya dengan Hukum Administrasi Negara juga sukar diadakan suatu perumusan yang sesuai dan tepat. Mengenai Hukum Administrasi Negara para sarjana hukum di negeri Belanda selalu berpegang pada paham Thorbecke, beliau dikenal sebagai Bapak Sistematik Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Adapun salah satu muridnya adalah Oppenheim, yang juga memiliki murid Mr. C. Van Vollenhoven. Thorbecke menulis buku yang berjudul Aantekeningen op de Grondwet (Catatan atas undang-undang dasar) yang pada pokoknya isi buku ini mengkritik kebijaksanaan Raja Belanda Willem I, Thorbecke adalah orang yang pertama kali mengadakan organisasi pemerintahan atau mengadakan sistem pemerintahan di Belanda, dimana pada saat itu Raja Willem I memerintah menurut kehendaknya sendiri pemerintahan di Den Haag, membentuk dan mengubah kementerian-kementerian menurut orang-orang dalam pemerintahan.

Oppenheim memberikan suatu definisi Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara. Hukum Administrasi Negara menurut Oppenheim adalah sebagai peraturan-peraturan tentang negara dan alat-alat perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging). Sedangkan murid Oppenheim yaitu Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara menjadi 4 yaitu sebagai berikut:

1) Hukum Peraturan Perundangan (regelaarsrecht/the law of the legislative process)

2) Hukum Tata Pemerintahan (bestuurssrecht/ the law of government)

3) Hukum Kepolisian (politierecht/ the law of the administration of security)

4) Hukum Acara Peradilan (justitierecht/ the law of the administration of justice), yang terdiri dari:

a. Peradilan Ketatanegaraan

b. Peradilan Perdata

c. Peradilan Pidana

d. Peradilan Administrasi

Utrecht (1985) dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Negara mengatakan bahwa Hukum Administrasi Negara ialah himpunan peraturan –peraturan tertentu yang menjadi sebab, maka negara berfungsi. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara merupakan sekumpulan peraturan yang memberi wewenang kepada administrasi negara untuk mengatur masyarakat.

Sementara itu pakar hukum Indonesia seperti Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H. (1994), berpendirian bahwa tidak ada perbedaan yuridis prinsipal antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara. Perbedaannya menurut Prajudi hanyalah terletak pada titik berat dari pembahasannya. Dalam mempelajari Hukum Tata Negara kita membuka fokus terhadap konstitusi negara sebagai keseluruhan, sedangkan dalam membahas Hukum Administrasi Negara lebih menitikberatkan perhatian secara khas kepada administrasi negara saja. Administrasi merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam konstitusi negara di samping legislatif, yudikatif, dan eksaminasi. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara adalah mirip dengan hubungan antara hukum dagang terhadap hukum perdata, dimana hukum dagang merupakan pengkhususan atau spesialisasi dari hukum perikatan di dalam hukum perdata. Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu pengkhususan atau spesialisasi dari Hukum Tata Negara yakni bagian hukum mengenai administrasi negara.

Berdasarkan definisi Hukum Administrasi Negara menurut Prajudi Atmosudirdjo (1994), maka dapatlah disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai seluk-beluk administrasi negara (hukum administrasi negara heteronom) dan hukum operasional hasil ciptaan administrasi negara sendiri (hukum administrasi negara otonom) di dalam rangka memperlancar penyelenggaraan dari segala apa yang dikehendaki dan menjadi keputusan pemerintah di dalam rangka penunaian tugas-tugasnya.

Hukum administrasi negara merupakan bagian operasional dan pengkhususan teknis dari hukum tata negara, atau hukum konstitusi negara atau hukum politik negara. Hukum administrasi negara sebagai hukum operasional negara di dalam menghadapi masyarakat serta penyelesaian pada kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat tersebut.

Hukum Administrasi Negara diartikan juga sebagai sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi Negara dengan warga masyarakat, dimana administrasi Negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari policy suatu pemerintahan.

Contoh, policy pemerintah Indonesia adalah mengatur tata ruang di setiap kota dan daerah di seluruh Indonesia dalam rangka penataan lingkungan hidup. Implementasinya adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang lingkungan hidup. Undang-undang ini menghendaki bahwa setiap pembangunan harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Pelaksanaannya adalah bahwa disetiap daerah ada pejabat administrasi Negara yang berwenang memberi/menolak izin bangunan yang diajukan masyarakat melalui Keputusan Administrasi Negara yang berupa izin mendirikan bangunan.

B. Lapangan Pekerjaan Administrasi Negara

Sebelum abad ke 17 adalah sukar untuk menentukan mana lapangan administrasi Negara dan mana termasuk lapangan membuat undang-undang dan lapangan kehakiman, karena pada waktu itu belum dikenal “pemisahan kekuasaan”, pada waktu itu kekuasaan Negara dipusatkan pada tangan raja kemudian pada birokrasi-birokrasi kerajaan. Tapi setelah abad ke 17 timbulah aliran baru yang menghendaki agar kekuasaan negara dipisahkan dari kekuasaan raja dan diserahkan kepada tiga badan kenegaraan yang masing-masing mempunyai lapangan pekerjaan sendiri-sendiri terpisah yang satu dari yang lainnya seperti yang telah dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu.

Sejak itu baru kita mengetahui apakah yang menjadi lapangan administrasi negara itu. Maka yang menjadi lapangan administrasi negara berdasarkan teori Trias Politica John Locke maupun Monesquieu adalah lapangan eksekutif yaitu lapangan yang melaksanakan undang-undang. Bahkan oleh John Locke tugas kehakiman dimasukkan ke dalam lapangan eksekutif karena mengadili itu termasuk melaksanakan undang-undang. Sejak adanya teori “pemisahan kekuasaan” ini lapangan administrasi negara mengalami perkembangan yang pesat.

Tetapi ajaran Trias Politica ini hanya dapat diterapkan secara murni di negara-negara seperti yang digambarkan oleh Immanuel Kant dan Fichte yaitu di negara-negara hukum dalam arti sempit atau seperti yang disebut Utrech “Negara Hukum Klasik” (klasieke rechtsstaat), tetapi tidak dapat diterapkan kedalam system pemerintahan dari suatu negara hukum modern (moderneechsstaat), karena lapangan pekerjaan administrasi negara pada Negara hukum modern adalah lebih luas dari pada dalam negara hukum klasik. Apakah sebabnya maka lapangan administrasi negara dalam negara hukum modern itu lebih luas dari pada dalam negara hukum klasik, hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri kedua negara tersebut.

NEGARA HUKUM KLASIK

NEGARA HUKUM MODERN

Corak Negara adalah Negara liberal yang mempertahankan dan melindungi ketertiban social dan ekonmi berdasarkan asas “Laisez fair laissez passer” yaitu asas kebebasan dari semua warga negaranya dan dalam persaingan diantara mereka

Corak Negara adalah “Welfare State”, suatu negara yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat

Tugas Negara adalah sebagai “Penjaga Malam” (Nachtswakerstaat) karena hanya menjaga keamanan dalam arti sempit, yaitu keamanan senjata

Ekonomi liberal telah diganti dengan system ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat (central geleide ekonomie).

Adanya suatu “Staatsonthouding” sepenuhnya, artinya “pemisahan antara negara dan masyarakat” Negara dilarang keras ikut campur dalam lapangan ekonomi dan lapangan-lapangan kehidupan sosial lainnya

Staatsonhouding telah diganti dengan staatsbemoeienis artinya negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat


Ditinjau dari segi politik suatu “Nachtwakerstaat” Negara sebagai penjaga malam, tugas pokoknya adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari the rulling class nasib dari mereka yang bukan rulling class tidak dihiraukan oleh alat-alat pemerintah dalam suatu Nachtwakerstaat.

Tugas dari suatu Welfare State adalah “Bestuurszorg” yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum


Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas yaitu keamanan social disegala lapangan kehidupan masyarakat

Prajudi Atmosudirdjo (1994: 61) mengemukakan bahwa untuk keperluan studi ilmiah, maka ruang lingkup atau lapangan hukum administrasi negara meliputi:

1) Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada administrasi negara

2) Hukum tentang organisasi dari administrasi negara

3) Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari Administrasi Negara, terutama yang bersifat yuridis

4) Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara, terutama mengenai Kepegawaian Negara dan Keuangan Negara

5) Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah atau Wilayah

6) Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara

Sementara Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh Victor M. Situmorang (1989:23) menggambarkan suatu skema mengenai Hukum Administrasi Negara di dalam kerangka hukum seluruhnya, yang dikenal dengan sebutan residu theori”, yaitu sebagai berikut:

1) Staatsrecht (materieel)/Hukum Tata Negara (materiel), meliputi:

a. Bestuur (pemerintahan)

b. Rechtspraak (peradilan)

c. Politie (kepolisian)

d. Regeling (perundang-undangan)

2) Burgerlijkerecht (materieel)/Hukum Perdata (materiel)

3) Strafrecht (materiel)/Hukum Pidana (materiel)

4) Administratiefrecht (materiel) dan formell)/Hukum Administrasi Negara (materiel dan formeel), meliputi:

a. Bestuursrecht (hukum pemerintahan)

b. Justitierecht (hukum peradilan) yang meliputi:

1. Staatsrechterlijeke rechtspleging (formeel staatsrecht/Peradilan Tata Negara)

2. Administrative rechtspleging (formeel administratiefrecht/Peradilan Administrasi Negara)

3. Burgerlijeke rechtspleging/Hukum Acara Perdata

4. Strafrechtspleging/Hukum Acara Pidana

5) Politierecht (Hukum Kepolisian)

6) Regelaarsrecht (Hukum Proses Perundang-Undangan)

Lebih lanjut Victor M. Situmorang (1989:27-37) menyebutkan ada beberapa teori dari lapangan administrasi negara, yang tentunya sangat tergantung pada perkembangan dari suatu sistem pemerintahan yang dianut oleh negara yang bersangkutan, dan ini sangat menentukan lapangan atau kekuasaan Hukum Administrasi Negara.

1. Teori Ekapraja (Ekatantra)

Teori ini ada dalam negara yang berbentuk sistem pemerintahan monarki absolut, dimana seluruh kekuasaan negara berada di tangan satu orang yaitu raja. Raja dalam sistem pemerintahan yang monarki absolut memiliki kekuasaan untuk membuat peraturan (legislatif), menjalankan (eksekutif) dan mempertahankan dalam arti mengawasi (yudikatif). Dalam negara yang berbentuk monarki absolut ini hukum administrasi negara berbentuk instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan oleh aparat negara (sistem pemerintahan yang sentralisasi dan konsentrasi). Lapangan pekerjaan administrasi negara atau hukum administrasi negara hanya terbatas pada mempertahankan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh raja, dalam arti alat administrasi negara hanya merupakan “machtsapparat” (alat kekuatan) belaka. Oleh sebab itu dalam negara yang demikian terdapat hanya satu macam kekuasaan saja yakni kekuasaan raja, sehingga pemerintahannya sering disebut pemerintahan Eka Praja (Danuredjo, 1961:25).

2. Teori Dwipraja (Dwitantra)

Hans Kelsen membagi seluruh kekuasaan negara menjadi dua bidang yaitu: 1) Legis Latio, yang meliputi “Law Creating Function”, dan 2) Legis Executio, yang meliputi:

a. Legislative power

b. Judicial power

Legis Executio ini bersifat luas, yakni melaksanakan “The Constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif, maka mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial power. Lebih lanjut Hans Kelsen kemudian membagi kekuasaan administratif tersebut menjadi dua bidang yang lebih lanjut disebut sebagai Dichotomy atau Dwipraja atau Dwitantra, yaitu: 1) Political Function (Government), dan 2) Administrative Function (Verwaltung atau Bestuur).

Seorang Sarjana dari Amerika Serikat yaitu Frank J. Goodnow membagi seluruh kekuasaan pemerintahan dalam dichotomy, yaitu: a) Policy making, yaitu penentu tugas dan haluan, dan b) Task Executing, yaitu pelaksana tugas dan haluan negara. Sementara itu A.M. Donner juga membedakan dua kekuasaan pemerintahan, yaitu: 1) kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara, dan 2) Kekuasaan yang menyelenggarakan tugas yang telah ditentukan atau merealisasikan politik negara yang telah ditentukan sebelumnya (verwezenlijkking van de taak). Teori yang membagi fungsi pemerintahan dalam dua fungsi seperti tersebut di atas disebut dengan Teori Dwipraja.

3. Teori Tripraja (Trias Politica)

John Locke dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government”, membagi tiga kekuasaan dalam negara yang berdiri sendiri dan terlepas satu sama lain, yaitu:

1) Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundangan

2) Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya juga kekuasaan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundangan, yaitu kekuasaan pengadilan (yudikatif).

3) Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya atau misalnya kekuasaan untuk mengadakan hubungan antara alat-alat negara baik intern maupun ekstern.

Pada tahun 1748, Filsuf Perancis Montesquieu memperkembangkan lebih lanjut pemikiran John Locke dalam bukunya “L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law). Montesquieu juga membagi kekuasaan negara menjadi tiga yaitu:

1) kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang

2) kekuasaan eksekutif, yaitu meliputi penyelenggaraan undang-undang (terutama tindakan di bidang luar negeri).

3) kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan mengadili pelanggaran atas undang-undang.

Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, dan sebaliknya kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif. Lebih lanjut Montesquieu mengemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah, sehingga diharapkan akan terwujudnya jaminan bagi kemerdekaan setiap individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Sistem pemerintahan dimana kekuasaan yang ada dalam suatu negara dipisahkan menjadi tiga kekuasaan tersebut di atas dikenal dengan teori Tripraja.

4. Teori Catur Praja

Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu:

1) Fungsi memerintah (bestuur)

Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksanan undang-undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun politik.

2) Fungsi polisi (politie)

Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif yakni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat tersebut tetap terpelihara.

3) Fungsi mengadili (justitie)

Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya.

4) Fungsi mengatur (regelaar)

Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari suatu negara.

5. Teori Panca Praja

Dr. JR. Stellinga dalam bukunya yang berjudul “Grondtreken Van Het Nederlands Administratiegerecht”, membagi fungsi pemerintahan menjadi lima fungsi yaitu: 1) Fungsi perundang-undangan (wetgeving), 2) Fungsi pemerintahan (Bestuur), 3) Fungsi Kepolisian (Politie), 4) Fungsi Peradilan (Rechtspraak), 5) Fungsi Kewarganegaraan (Burgers). Lemaire juga membagi fungsi pemerintahan menjadi lima, yaitu: 1) Bestuurszorg (kekuasaan menyelenggarakan kesejahteraan umum), 2) Bestuur (kekuasaan pemerintahan dalam arti sempit), 3) politie (Kekuasaan polisi), 4) Justitie (kekuasaan mengadili), dan 5) reglaar (kekuasaan mengatur).

6. Teori Sad Praja

Teori Sad Praja ini dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi 6 kekuasaan, yaitu:

1) kekuasaan pemerintah

2) kekuasaan perundangan

3) kekuasaan pengadilan

4) kekuasaan keuangan

5) kekuasaan hubungan luar negeri

6) kekuasaan pertahanan dan keamanan umum

C. Kedudukan Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara merupakan salah satu mata kuliah wajib pada Program Studi PPKN atau Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam studi hukum, Hukum Administrasi Negara merupakan salah satu cabang atau bagian dari hukum yang khusus. Dalam studi Ilmu Administrasi, mata kuliah Hukum Administrasi Negara merupakan bahasan khusus tentang salah satu aspek dari administrasi, yakni bahasan mengenai aspek hukum dari administrasi negara. Sedangkan dikalangan PBB dan kesarjanaan internasional, Hukum Administrasi Negara diklasifikasi baik dalam golongan ilmu-ilmu hukum maupun dalam ilmu-ilmu administrasi.

Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum administrasi dapat dikatakan sebagai “hukum antara” (Poly-Juridisch Zakboekje h. B3/4). Sebagai contoh izin bangunan. Dalam memberikan izin penguasa memperhatikan segi-segi keamanan dari bangunan yang direncanakan. Dalam hal demikian, pemerintah menentukan syarat-syarat keamanan. Disamping itu bagi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan tentang izin bangunan dapat ditegakkan sanksi pidana. W.F. Prins mengemukakan bahwa “hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri in cauda venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in cauda venenum secara harfiah berarti ada racun di ekor/buntut).

Menurut isinya hukum dapat dibagi dalam Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat (hukum sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara), yang termasuk dalam hukum publik ini salah satunya adalah Hukum Administrasi Negara.



D. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Lainnya

1. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara

Baron de Gerando adalah seorang ilmuwan Perancis yang pertama kali mempekenalkan ilmu hukum administrasi negara sebagai ilmu hukum yang tumbuh langsung berdasarkan keputusan-keputusan alat perlengkapan negara berdasarkan praktik kenegaraan sehari-hari. Maksudnya, keputusan raja dalam menyelesaikan sengketa antara pejabat dengan rakyat merupakan kaidah Hukum Administrasi Negara.

Mr. W.F. Prins menyatakan bahwa Hukum Administrasi Negara merupakan aanhangsel (embel-embel atau tambahan) dari hukum tata negara. Sementara Mr. Dr. Romeyn menyatakan bahwa Hukum Tata Negara menyinggung dasar-dasar dari pada negara Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah mengenai pelaksanaan tekniknya. Pendapat Romeyn ini dapat diartikan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah sejenis hukum yang melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara, dan sejalan dengan teori Dwi Praja dari Donner, maka Hukum Tata Negara itu menetapkan tugas (taakstelling) sedangkan Hukum Administrasi Negara itu melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh Hukum Tata Negara (taakverwezenlijking).

Menurut Van Vollenhoven, secara teoretis Hukum Tata Negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat perlengkapan Negara dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan Negara tersebut, sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan Negara, baik tinggi maupun rendah ketika alat-alat itu akan menggunakan kewenangan ketatanegaraan. Pada pihak yang satu terdapatlah hukum tata negara sebagai suatu kelompok peraturan hukum yang mengadakan badan-badan kenegaraan, yang memberi wewenang kepada badan-badan itu, yang membagi pekerjaan pemerintah serta memberi bagian-bagian itu kepada masing-masing badan tersebut yang tinggi maupun yang rendah. Hukum Tata Negara menurut Oppenheim yaitu memperhatikan negara dalam keadaan tidak bergerak (staat in rust). Pada pihak lain terdapat Hukum Administrasi negara sebagai suatu kelompok ketentuan-ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah bila badan-badan itu menggunakan wewenangnya yang telah diberi kepadanya oleh hukum tata negara itu. Hukum Administrasi negara itu menurut Oppenheim memperhatikan negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).

Tidak ada pemisahan tegas antara hukum tata negara dan hukum administrasi. Terhadap hukum tata negara, hukum administrasi merupakan perpanjangan dari hukum tata Negara. Hukum administrasi melengkapi hukum tata Negara, disamping sebagai hukum instrumental (instrumenteel recht) juga menetapkan perlindungan hukum terhadap keputusan –keputusan penguasa.

2. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana

Romeyn berpendapat bahwa hukum Pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau “hulprecht” bagi hukum administrasi negara, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum Pidana. Sedangkan E. Utrecht mengatakan bahwa Hukum Pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat, maupun atas pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada. Pendapat lain dikemukakan oleh Victor Situmorang bahwa “apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana”.

3. Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata

Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Victor Situmorang bahwa Hukum Administrasi Negara itu merupakan hukum khusus hukum tentang organisasi negara dan hukum perdata sebagai hukum umum. Pandangan ini mempunyai dua asas yaitu pertama, negara dan badan hukum publik lainnya dapat menggunakan peraturan-peraturan dari hukum perdata, seperti peraturan-peraturan dari hukum perjanjian. Kedua, adalah asas Lex Specialis derogaat Lex generalis, artinya bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum, yaitu bahwa apabila suatu peristiwa hukum diatur baik oleh Hukum Administrasi Negara maupun oleh hukum Perdata, maka peristiwa itu diselesaikan berdasarkan Hukum Administrasi negara sebagai hukum khusus, tidak diselesaikan berdasarkan hukum perdata sebagai hukum umum.

Jadi terjadinya hubungan antara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Perdata apabila 1) saat atau waktu terjadinya adopsi atau pengangkatan kaidah hukum perdata menjadi kaidah hukum Administrasi Negara, 2) Badan Administrasi negara melakukan perbuatan-perbuatan yang dikuasasi oleh hukum perdata, 3) Suatu kasus dikuasai oleh hukum perdata dan hukum administrasi negara maka kasus itu diselesaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Administrasi Negara.

4. Hukum Administrasi Negara dengan Ilmu Administrasi Negara

Sebagaimana istilah administrasi, administrasi negara juga mempunyai berbagai macam pengertian dan makna. Dimock dan Dimock, menyatakan bahwa sebagai suatu studi, administrasi negara membahas setiap aspek kegiatan pemerintah yang dimaksudkan untuk melaksanakan hukum dan memberikan pengaruh pada kebijakan publik (public policy); sebagai suatu proses, administrasi negara adalah seluruh langkah-langkah yang diambil dalam penyelesaian pekerjaan; dan sebagai suatu bidang kemampuan, administrasi negara mengorganisasikan dan mengarahkan semua aktivitas yang dikerjakan orang-orang dalam lembaga-lembaga publik.

Kegiatan administrasi negara tidak dapat dipisahkan dari kegiatan politik pemerintah, dengan kata lain kegiatan-kegiatan administrasi negara bukanlah hanya melaksanakan keputusan-keputusan politik pemerintah saja, melainkan juga mempersiapkan segala sesuatu guna penentuan kebijaksanaan pemerintah, dan juga menentukan keputusan-keputusan politik.

E. Latihan

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar!

1. Jelaskan pengertian dan rumuskan dari Hukum Administrasi Negara!

2. Bagaimanakah lapangan dan kedudukan hukum administrasi negara di Indonesia!. Jelaskan.

3. Terangkan pengertian administrasi menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H.!

4. Jelaskan hubungan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara!

5. Gambarkan perbedaan antara hukum administrasi negara klasik dengan hukum administrasi negara modern!.


F. Rangkuman

Hukum Administrasi Negara menurut Oppenheim adalah sebagai peraturan-peraturan tentang negara dan alat-alat perlengkapannya dilihat dalam geraknya (hukum negara dalam keadaan bergerak atau staat in beweging). Sedangkan Utrecht mengatakan bahwa Hukum Administrasi Negara ialah himpunan peraturan –peraturan tertentu yang menjadi sebab, maka negara berfungsi. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara merupakan sekumpulan peraturan yang memberi wewenang kepada administrasi negara untuk mengatur masyarakat.

Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa untuk keperluan studi ilmiah, maka ruang lingkup atau lapangan hukum administrasi negara meliputi: 1) Hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum daripada administrasi negara, 2) Hukum tentang organisasi dari administrasi negara, 3) Hukum tentang aktivitas-aktivitas dari Administrasi Negara, terutama yang bersifat yuridis, 4) Hukum tentang sarana-sarana dari Administrasi Negara, terutama mengenai Kepegawaian Negara dan Keuangan Negara, 5) Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah atau Wilayah, 6) Hukum tentang Peradilan Administrasi Negara.

Hukum Administrasi Negara termasuk dalam hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).